Dini Hari

Beberapa hari ini aku selalu menunggu waktu tengah malam. Begitu tanggal – tanggal pada kalender beranjak pelan – pelan, paling tidak aku tahu bahwa hari esok masih bisa aku lewatkan bersamamu. Meyakini bahwa kau tidak pernah sengaja meninggalkanku tidur. Atau tiba – tiba bosan dengan percakapan kita yang hampir sama di tiap malam.

Aku tahu bagaimana sulitnya membayangkan duduk bersama kekasihmu. Sementara kau sama sekali tidak tahu apakah di waktu yang sama dia juga tengah berusaha menenangkan tangisnya. Kata siapa jarak dan waktu tak punya cukup andil pada setiap hubungan manusia? Dimana kini, baik aku ataupun kau sama – sama berdoa pada segala dewa yang menguasai pertemuan. Mencari – cari segala pembenaran untuk mempertahankan kerinduan yang sebenarnya sama – sama mulai kita abaikan. Bukan karena lelah atau tak mau mendalami, tapi siapa yang berani mengelak bahwa beberapa puluh hari tanpa pertemuan, kita tiba – tiba saja kita lupa bagaimana rasanya merindukan seseorang.

Apakah kau masih suka menghabiskan setiap senja dengan duduk di serambi depan? Mengamati langit yang merah diam – diam berubah muram. Mengapa sampai hari ini aku tak paham juga, bagaimana dua warna yang berbeda bisa tiba – tiba saling bertukar tempat. Merah biru dan hitam. Mereka sama sekali bukan abu – abu yang dengan lekas dapat memudar jadi putih. Sempatkah kau mengamatinya? Bahwa dia antara warna paling cerah itu, ada warna lain yang membantunya menemukan malam?

Beberapa hari ini, kita mencari – cari cerita lama yang barangkali masih punya sisa kenangan. Aku bahkan mulai lupa wangi tubuhmu yang diam – diam suka memelukku dari belakang. Aku memastikan bahwa hangatnya tak jauh berbeda ketika tidur dengan membayangkan tawamu pada kedua sisi mataku yang terpejam. Tapi sama sekali, kini aku lupa rasanya.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment