Ini
malam ke dua ratus-tiga puluh-delapan. Di luar sana hujan belum juga berhenti. Aku
lupa kapan terakhir keluar dari pintu berwarna hijau itu, kemudian menikmati
rumput - rumput kering tanpa hujan. Semua orang sudah lupa apakah ini musim
hujan atau musim kering. Sebab mereka sudah kehabisan pena untuk melingkari
tiap angka di kalender.
Hujan yang tak kunjung berhenti. Pagi hari
kami tidak bisa melihat matahari, bahkan belakangan kami sulit membedakan kapan
pagi hari dan kapan malam hari. Langit melulu gelap. Petir terbesar kadang
hadir di awal pagi. Kami tidak lagi tahu waktu sarapan, makan siang dan makan
malam. Udara dingin selalu membuat kami kelaparan.
Tidak ada yang ingat bagaimana sungai, danau dan lautan. Sebab seisi kota sudah
tergenang air. Kami seperti ikan - ikan dalam akuarium ayahku. Mungkin sebentar
lagi akan tumbuh sirip di kedua sisi tangan kami. Kemudian kami akan berenang
dengan ikan - ikan yang setiap hari singgah di muka pintu. Menyerahkan diri
untuk dimasak matang - matang.
Mungkin ini malam hari. Sebab hujan turun lebih tenang. Tiap malam kami mencoba
mengingat - ingat bagaimana rona cahaya bintang. Padahal sebelum hujan pertama
turun, aku dan kawan - kawan hendak belajar cara membaca garis bintang. Bintang
- bintang adalah orang - orang baik hati yang meninggal dengan cara paling
indah. Tapi apakah orang yang mati kedinginan bisa jadi bintang? Apa gunanya
kalau tidak bisa dilihat?
Ini mendung tak kunjung menyeka diri. Cahaya matahari, langit yang biru, awan -
awan jernih, bulan dan juga bintang sudah dikalahkannya. Siapa yang peduli
tentang pelangi. Hujan tak turun untuk semenit saja rasanya sudah hangat betul.
Orang- orang sudah lelah mengadakan upacara ritual pengusir hujan. Sebelum
upacara dimulai, orang- orang sudah mati kedinginan, tak mau keluar dari
gulungan selimutnya. Semua orang kini hanya peduli pada diri sendiri. Tak ada
yang menghiraukan anak - anak yang menggigil kelaparan di pinggir jalan. Masing
- masing dari kita telah sibuk menghangatkan diri sendiri.
Ini mungkin musim hujan. Atau barangkali ini musim kering yang sudah kehabisan
cahaya matahari. Untung saja masih ada kapur merah muda di saku celana. Cukup
untuk melingkari angka - angka di kalender, untuk tetap menghitung berapa
banyak hutang yang harus dibayar dewa hujan setelah matahari berhasil
mengumpulkan kekuatan dan menyerang mendung - mendung yang semakin pekat
mengalahkan putihnya awan.
Ini
malam ke dua ratus-tiga puluh-delapan. Di luar sana hujan belum juga berhenti. Aku
lupa kapan terakhir keluar dari pintu berwarna hijau itu, kemudian menikmati
rumput - rumput kering tanpa hujan. Semua orang sudah lupa apakah ini musim
hujan atau musim kering. Sebab mereka sudah kehabisan pena untuk melingkari
tiap angka di kalender.
Hujan yang tak kunjung berhenti. Pagi hari kami tidak bisa melihat matahari, bahkan belakangan kami sulit membedakan kapan pagi hari dan kapan malam hari. Langit melulu gelap. Petir terbesar kadang hadir di awal pagi. Kami tidak lagi tahu waktu sarapan, makan siang dan makan malam. Udara dingin selalu membuat kami kelaparan.
Tidak ada yang ingat bagaimana sungai, danau dan lautan. Sebab seisi kota sudah tergenang air. Kami seperti ikan - ikan dalam akuarium ayahku. Mungkin sebentar lagi akan tumbuh sirip di kedua sisi tangan kami. Kemudian kami akan berenang dengan ikan - ikan yang setiap hari singgah di muka pintu. Menyerahkan diri untuk dimasak matang - matang.
Mungkin ini malam hari. Sebab hujan turun lebih tenang. Tiap malam kami mencoba mengingat - ingat bagaimana rona cahaya bintang. Padahal sebelum hujan pertama turun, aku dan kawan - kawan hendak belajar cara membaca garis bintang. Bintang - bintang adalah orang - orang baik hati yang meninggal dengan cara paling indah. Tapi apakah orang yang mati kedinginan bisa jadi bintang? Apa gunanya kalau tidak bisa dilihat?
Ini mendung tak kunjung menyeka diri. Cahaya matahari, langit yang biru, awan - awan jernih, bulan dan juga bintang sudah dikalahkannya. Siapa yang peduli tentang pelangi. Hujan tak turun untuk semenit saja rasanya sudah hangat betul.
Orang- orang sudah lelah mengadakan upacara ritual pengusir hujan. Sebelum upacara dimulai, orang- orang sudah mati kedinginan, tak mau keluar dari gulungan selimutnya. Semua orang kini hanya peduli pada diri sendiri. Tak ada yang menghiraukan anak - anak yang menggigil kelaparan di pinggir jalan. Masing - masing dari kita telah sibuk menghangatkan diri sendiri.
Ini mungkin musim hujan. Atau barangkali ini musim kering yang sudah kehabisan cahaya matahari. Untung saja masih ada kapur merah muda di saku celana. Cukup untuk melingkari angka - angka di kalender, untuk tetap menghitung berapa banyak hutang yang harus dibayar dewa hujan setelah matahari berhasil mengumpulkan kekuatan dan menyerang mendung - mendung yang semakin pekat mengalahkan putihnya awan.
0 comments:
Post a Comment