Dua Puluh


Sekarang ia mengerti mengapa dahulu, 3 tahun lalu, orang-orang selalu menyuruhnya mensyukuri usia mudanya. “Kamu masih SMA, jangan serius-serius. Senang-senanglah dahulu!”, “Tak apa mengejar cita-cita, tapi dinikmati seperti anak muda seumurmu!”. Tapi ia selalu mengelak. Baginya anak SMA harus serius, harus ikut memikirkan banyak hal. Kita tak boleh hanya bersenang-senang untuk diri sendiri. Kini ia tahu, ia salah. Kelak jika ia memiliki anak, ia akan memperingati anaknya berulang kali bahwa dunia orang dewasa sangat mengerikan. Maka nikmatilah dunia-sebelum-usia-duapuluh-mu. Jangan sekali-kali berpikir untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Nikmatilah usiamu yang masih belasan itu, dan berbahagialah kamu yang belum menginjak usia dua puluh tahun.


Ia masih ingat betul dulu ketika masih SMA ia ingin sekali cepat-cepat lulus dan kuliah. Baginya menjadi anak SMA adalah nasib yang konyol. Orang-orang selalu penuh maklum pada anak SMA, kadang malah meremehkan. Dahulu, 3 tahun yang lalu ia ingin sekali cepat-cepat keluar dari lingkungan yang menyedihkan, dimana anak-anak disekelilingnya begitu bahagia menghabiskan uang orangtua mereka meskipun nilai rapornya jelek, bahkan tak pernah mendapatkan penghargaan apapun di bidang yang mereka tekuni. Dahulu, 3 tahun lalu ia ingin cepat-cepat masuk ke dunia orang dewasa. Karena baginya cara terbaik untuk bisa menjadi diri sendiri dan bebas dari segala aturan adalah dengan menjadi orang dewasa. Tapi waktu ia lupa menimbang-nimbang keputusannya : apakah menjadi diri sendiri itu mudah? Kini ketika sudah memasuki usia dua puluh, ia tahu, ia salah. Salah besar.

Sejak kecil ia kerap yakin ketika dewasa nanti semua orang akan memiliki kebenaran yang sama. Saat itu pikirnya, ketika anak-anak sudah menginjak usia 20 tahun,  mereka semua akan menjadi orang pintar dan baik. Pintar dan baik dengan ukuran yang sama. Untuk itulah ia tak pernah takut pada nasib teman-temannya yang nakal, jahat dan bodoh, sebab ia yakin betul suatu hari nanti semua orang akan jadi baik hati dan pintar. Tapi ia salah. Ada banyak anak bodoh yang ketika dewasa tetap bodoh. Ada banyak anak nakal yang ketika dewasa menjadi lebih nakal. Orang dewasa yang jahat lebih mengerikan daripada anak-anak yang jahat. Saat kecil, kita bisa membedakan dengan pasti yang mana lawan yang mana kawan. Tapi di dunia orang dewasa, kawan dan lawan kadang bertukar fungsi. Orang-orang yang pada akhirnya kita ketahui adalah orang jahat, awalnya mereka akan bisa bertingkah seperti orang paling suci, yang membuat kita takan menaruh curiga sama sekali.

Pertama kali ia mengetahui bahwa pendapatnya mengenai dunia orang dewasa itu salah yakni ketika ia menjadi mahasiswa. Ia banyak berdebat dengan kawan-kawannya. Apa yang dianggapnya benar dan ia pikir seharusnya dilakukan oleh semua orang, ternyata berbeda dengan apa yang teman-temannya percaya. Semula ia pikir teman-temannyalah yang salah. Tapi belakangan ia sadar, bahwa berharap semua orang berpikiran sama adalah hal yang mustahil. Kita tidak akan pernah bisa memaksa semua orang untuk satu pikiran dengan kita.

Baginya, salah satu yang mengerikan dari dunia orang dewasa adalah : setiap orang punya kebenarannya masing-masing. Menjelang usia dua puluh ia baru sadar bahwa dunia ini dibagi bukan atas ras, suku, negara, agama. Dunia ini dibagi salah satunya oleh ideologi. Setiap orang memiliki dan membawa ideologinya masing-masing. Ketika dewasa orang-orang akan bersatu menurut kesamaan kebenaran. Mereka tak lagi bertengkar karena berebut permen atau bersaing nilai ulangan, tapi mereka bertikai karena keyakinan akan sesuatu, mereka meributkan hal-hal abstrak yang bahkan tak kita ketahui wujudnya. Mengerikan! Orang-orang bisa saling membenci hanya karena apa yang mereka percaya berbeda dengan orang lain.

Suatu hari kamu akan mengalami masa-masa dimana kamu tidak bisa lagi bangga pada apa yang kamu capai, hanya karena apa yang kamu lakukan tidak benar menurut orang lain. Jangan sedih jika IPKmu yang 4 itu tidak ada artinya di mata teman-temanmu yang menganggap bahwa nilai akademik tidak lebih penting dibandingkan pengalaman berorganisasi. Kamu pun tidak bisa menertawakan orang lain karena IPKnya lebih kecil dari IPKmu, seperti kamu meledek teman SDmu yang nilai matematikanya merah. Sebab bagi mereka, ukuran kesuksesannya bukan itu, tapi sesuatu yang lain. ini hanya salah satu contoh kecil. Setelah mendapati bahwa apa yang kamu anggap benar berbeda dengan orang lain, kamu akan mencari-cari apa atau siapa yang sebenarnya-benarnya paling benar, apa yang seharusnya kamu lakukan untuk menjadi benar. Sembari mencari “kebenaran” akhirnya kamu akan sadar bahwa kebenaran bukan hal tunggal yang terpusat. Kebenaran memiliki banyak bentuk. Dan kebenaran-kebenaran itu takan pernah menemukan kesepakatan, bahkan kadang tidak beririsan. Akhirnya kamu pun akan memutuskan bahwa yang paling benar adalah tidak mencari kebenaran dari luar dirimu, tapi membentuk kebenaranmu sendiri dan percaya pada apa yang kamu anggap benar.

Menjelang usia dua puluh, ia baru sadar bahwa dunia ini tidak dibagi atas hitam dan putih, benar dan salah, baik dan jahat. Dunia ini tidak seperti cerita anak-anak yang selalu punya peran antagonis dan protagonis, yang selalu punya pahlawan dan penjahat. Maka sejak ia berusia dua puluh ia belajar untuk berhenti mencari-cari siapa orang baik, siapa orang jahat, siapa pihak yang benar, dan pihak yang salah. Ia masih ingat ketika masih kecil ia selalu mengukur kebenaran orang dari usianya, semakin tua usia seseorang maka ia semakin benar. Kebenaran ditentukan oleh siapa yang paling tua. Tapi kini ia tahu, ia salah. Usia tak pernah berbanding lurus dengan kedewasaan, apalagi kebenaran. Ia sudah sering dikecewakan karena menggantungkan kebenaran pada orang dewasa. Kini ia tak mau lagi dengan mudahnya percaya pada orang yang lebih dewasa. Orang dewasa selalu bertingkah bahwa dirinyalah yang paling benar, yang mengerikan adalah semua orang dewasa melakukan hal itu.

Hal yang paling mengerikan dari dunia orang dewasa adalah, semakin kamu dewasa kamu akan kehilangan semakin banyak teman. Mungkin kamu akan dikelilingi banyak orang, tapi yang benar-benar teman mungkin jumlahnya kurang dari total jari tanganmu. Orang dewasa mementingkan dirinya sendiri. Dalam dunia orang dewasa yang abadi adalah kepentingan. Jadi, bagi orang dewasa teman adalah mereka yang sewaktu-waktu dapat membantu mereka memenuhi kepentingan mereka. Kamu akan dengan mudah kehilangan teman hanya karena jurusan kalian di kampus berbeda. Misalnya kamu lebih suka ilmu sosial dan kawanmu adalah pemuja ilmu sains yang meremehkan bidang ilmu sosial, maka bisa dijamin kalian tak akan berteman lagi, atau masih berteman tapi tak mungkin terlalu dekat. Pertemanan orang dewasa juga bisa hancur hanya karena mereka mendukung kandidat presiden yang berbeda.

Tapi yang paling sulit ketika menjadi dewasa adalah menerima bahwa kita sudah dewasa dan mencari tahu siapa diri kita yang sebenarnya. Kita seringkali tak sadar bahwa kita adalah hasil bentukan dari keluarga dan lingkungan kita. Beberapa orang menilai kita dari siapa keluarga kita, beberapa lagi menilai kita dari profesi, sementara sisanya menilai kita dari siapa teman-teman kita. Ketika dewasa kamu akan mengalami kesulitan dalam merumuskan dirimu sendiri. Kita akan semakin sering bertanya siapa kita? apa yang akan kita lakukan hari ini? kenapa saya harus melakukan ini? apakah benar saya memang menyukai hal ini? dan blah blah blah

Satu lagi, hal yang paling sulit ketika menjadi orang dewasa adalah melaksanakan komitmen yang kita utarakan pada diri sendiri. Saat masih SMA kita terbiasa menjadikan orang lain sebagai lawan, kita selalu bersaing dengan orang lain dan berusaha menjadi yang terbaik. Tapi ketika sudah dewasa dan memiliki kebenaran masing-masing, lawan terberat adalah diri sendiri. Akan tiba waktunya di mana kamu merindukan saat-saat bersaing dengan orang lain, saat-saat dimana kamu menjadi yang terbaik. Tapi ketika dewasa kamu tidak bisa bersaing dengan siapa-siapa karena setiap orang  memiliki tujuan hidup yang lebih spesifik yang tentunya berbeda satu sama lain. Kadang lebih mudah untuk mengikuti perintah ibu guru di sekolah dibandingkan mematuhi perintah sendiri. Setelah dewasa kamu akan kelelahan melawan egomu sendiri, kamu akan lebih sering marah dan kecewa pada dirimu sendiri karena hal-hal sepele seperti sulit bangun pagi. Dan sekalinya dapat memenuhi target yang kita pasang sendiri, kita akan merasa bangga luar biasa. Padahal sebenarnya tidak ada apa-apanya.

Tapi kata orang dewasa, hidup yang sebenarnya baru dimulai setelah kamu memasuki usia 20. Kamu akan dihadapkan pada keputusan-keputusan penting. Bahagia, sedih, marah, suka, patah hati, sukses, gagal, semuanya mulai dimaknai dengan cara baru. Perjalanan baru dimulai di usia 20. Sebelumnya hanya nina bobo. 



CONVERSATION

2 comments:

  1. Jika boleh saya berpandangan, menurut saya nilai kebenaran itu akan selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dimana suatu kebenaran itu dinyatakan, dan orang dewasa memiliki kapabilitas dalam menilai kebenaran-kebenaran subjektif itu dari berbagai aspek/sudut pandang dan menjadikan kebenaran itu bisa diterima (walaupun tidak secara utuh). Karena orang dikatakan dewasa sejatinya bukan dilihat dari segi umur saja melainkan juga dilihat dari kemapanan psikologis/cara berfikir (kebijaksanaan).
    Jika boleh saya ijin share tulisan ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Bli, terima kasih komentarnya.
      saya setuju kalau kebenaran sifatnya sangat fleksibel, tergantung wilayah, waktu, dan tentunya tergantung siapa yang mengatakannya. dan saya juga setuju bahwa usia tidak selalu berbanding lurus dengan kedewasaan. dan yang saya ingin tambahkan bahwa kita berhak untuk menciptakan kebenaran kita sendiri, dan tentu saja bisa membantah kebenaran versi orang lain, asal bisa diterima akal sehat dan disertai alasan2 yang masuk akal.
      silakan dishare,
      suksma sudah berkunjung :)

      Delete