Rumah

Seandainya aku pulang nanti, siapa yang harus kudatangi pertama kali? Aku tak punya rumah lagi. Sebab pertemuan-pertemuan lalu, tempat kita mengumpulkan setiap kenangan untuk jadi atap, lantai, atau langit-langit kamar, sudah rubuh, bahkan sebelum kita hiasi dinding-dindingnya dengan foto hitam putih yang kita punya sejak bertahun lalu.

Di perjalanan ini, beberapa kali sempat terbersit, apakah aku sungguh-sungguh ingin kembali? Sebab pulang bagiku adalah bertemu denganmu, bertukar cerita dan rindu sambil menghabiskan secangkir teh, lalu bercengkerama hingga larut malam. Ruang tamu dan bunga hias di atas meja kayu, atau tempat tidur yang selalu lebih hangat di pagi hari, kita tak punya lagi. Setelah itu, anjing-anjing kecil yang kerap mengganggu tidur kita, suara angin dari halaman belakang, dan daun-daun yang jatuh di jendelamu , kita abaikan saja. 

Sampai hari ini, yang paling melekat di ingatan adalah cahaya matahari yang jatuh dari ventilasi tepat pukul enam pagi, cahaya dan debu-debu yang membangunkan kita yang tertidur setelah bercakap tentang apa saja hingga dini hari. Tak ada rumah itu lagi. Kita berdua kini jadi pengembara yang terlanjur berjanji untuk tidak kembali. Kita sempat berkenala berdua, tapi belum terlalu jauh, belum cukup sungguh. Sesekali kita berhenti untuk memastikan jalan mana yang harus kita tuju, belokan  yang menampakan rumah-rumah kecil di kejauhan, atau lurus ke utara, ke tempat yang tak pernah kita kunjungi sebelumnya. Tapi belum terlalu jauh, belum terlalu sungguh, aku putuskan untuk berbalik arah dan kembali seorang diri. Aku kini mulai terbiasa untuk tidak merindukan rumah kita lagi. 

Sesekali aku ingin mampir ke rumah kita. Tentu bukan hari ini, barangkali bertahun lagi. Sekadar lewat di depannya, mengintip, apakah dindingnya mulai usang oleh udara lembab, atau warna catnya sudah mengelupas. Tapi kau selalu suka dinding-dinding yang penuh lumut, ia adalah petanda waktu, katamu, seperti kita, ia merasakan dingin dan kekeringan. Mungkin nanti aku akan masuk ke dalam. Coretan di dinding kamar, yang kau gambari wajahku dengan sembarang, masihkah ia disana, di balik meja kerjamu yang tak pernah rapi itu?

Aku tahu kau pun sempat mampir ke rumah kita. Sebab pot-pot bunga di beranda nampak segar. Kenapa kau tak cari teman baru untuk tinggal di rumah itu? Silakan saja setiap kursi kau pindahkan. Bukankah kau selalu bosan dengan dekorasi ruang yang melulu sama? Aku bahkan lupa, rak buku di dekat jendela, seperti apa letak awalnya.

Jika nanti kau punya teman baru, aku hanya minta buku-bukuku. Selebihnya, simpanlah untukmu. Kau tak perlu membukakan pintu lagi untukku. Sebab aku takan pulang. Kalaupun aku datang, aku hanya ingin tahu apakah bunga-bunga di beranda masih terlihat segar, atau apakah kau masih sering lupa menyalakan lampu di malam hari karena sibuk di ruang kerja.

Suatu hari, entah kapan, kita akan terbiasa untuk tak perlu tahu nasib satu sama lain. Maka biarlah aku jadi orang asing, yang mungkin akan singgah dan menyicipi secangkir teh di rumahmu. Tapi lebih dulu aku ingin pergi sejauh-jauhnya, untuk menemukan rumah yang lain, atau sekadar berkunjung jadi tamu dari pintu ke pintu. Tapi jika sewaktu-waktu aku datang, jangan biarkan aku masuk ke dalam rumahmu. Sapa saja dari muka pintu, dan kita akan belajar untuk membiarkan semuanya berlalu.



CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment