Waktu Untuk Bersedih


Jadi seperti ini rasanya menghadapi dunia dengan suasana hati yang berbeda, dan ternyata dunia di luar sana—semuanya tetap baik-baik saja. Orang-orang masih keluar di pagi hari dan menghabiskan waktu mereka dengan lari di taman atau pergi ke pasar. Hujan tetap turun di jam-jam yang sama menjelang malam hari. Orang-orang masih berbagi lelucon di sebuah meja sambil meneguk beberapa botol bir. Anak-anak berlari memasuki gerbang sekolahnya dengan antusias hingga lupa memberi salam pada orang tuanya yang mengantar hingga pintu gerbang. Dunia masih seperti biasanya. Dunia tidak ikut bersedih.

Di suasana hati seperti ini—yang sama sekali jarang saya rasakan—saya jadi suka mempehatikan segala sesuatu, mulai dari hal-hal kecil, dengan lebih detail. Ketika kamu patah hati, kamu akan merasakan waktu sangat lambat berputar. Kamu bisa dengan cukup seksama memperhatikan daun-daun yang warna hijaunya mulai pudar bergoyang ditiup angin, kemudian berhenti, kemudian ditiup angin lagi, dan pelan-pelan menjatuhkan dirinya dengan anggun ke tanah.  Di saat-saat seperti ini kamu mulai sadar kalau pepatah-pepatah patah hati dari akun-akun galau twitter atau mungkin  quote-quote dari penulis–yang selama ini sering kamu cibir itu benar adanya. Sangat benar. Kamu mulai percaya bahwa ketika kamu mendengarkan lagu saat patah hati kamu jadi lebih mendalami liriknya dan bisa menjadi lebih sedih dari biasanya. Atau yang paling konyol kamu baru sadar kalau ternyata istilah sakit hati itu adalah sakit yang benar-benar mengalami sakit seperti sakit fisik di bagian ulu hati. Bukan sekadar istilah dari rasa sedih yang dialami orang-orang yang putus cinta.

Dunia tidak seketika berubah menjadi hitam-putih, seperti cara kamu menatapnya setelah bangun pagi dengan rasa hampa yang sama. Sepagi ini kamu mulai percaya lagi, bahwa hati adalah organ yang paling vital yang tiba-tiba bisa mengalahkan otak yang maha luar biasa logisnya. Semakin besar usaha yang kamu lakukan untuk menjadi tegar dengan menerjemahkan perasaan-perasaan sedih ini dengan menggunakan logika, semakin besar pula rasa duka yang kamu rasakan. Ternyata ada beberapa hal yang tidak bisa kita terjemahkan dengan logika, sebab ternyata ia harus dimaknai dengan caranya sendiri.

Beberapa orang takut terlihat tidak berotak dan sekuat tenaga meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Hidup masih panjang. Kesempatan masih luas membentang. Tidak perlu menangis. Tidak perlu meladeni perasaan asing yang datang beberapa malam ini dengan terlalu serius. Sementara itu beberapa orang akhirnya mengaku kalah. Mengaku lemah. Kadang membela diri dengan mengatakan setidaknya ini adalah bukti bahwa mereka masih manusia. Masih punya perasaan. kalau kata teman saya--"ke-perempuaan-an kamu baru keluar sekarang (saat patah hati). Kita-kita yang muda ini selalu takut kalau berhadapan dengan hati. Sebab pilihannya hanya ada dua, jadi bahagia luar biasa, atau sedih sedalam-dalamnya. Sementara itu mereka yang tua menjadikan cerita kita sebagai bahan tertawaan—seolah kita hanya bersedih karena kehilangan pensil yang masih bisa dibeli lagi dengan harga yang sama. Meskipun sesekali mereka numpang bernostalgia, menertawakan kisah serupa di masa mudanya. Sepertinya cerita-cerita seperti ini klise sekali di mata mereka. 

Akan datang suatu hari, setelah kamu lelah menangis bermalam-malam, setelah kamu mulai bertanya-tanya setelah ini mau apa, setelah kamu selalu bangun pagi tanpa punya harapan apa-apa lagi, kamu akan menduga-duga, apakah semua orang pernah mengalami perasaan yang sama? Kalau iya, mengapa pada akhirnya mereka bisa terbebas dari perasaan-perasaan asing seperti ini? 

Beberapa tahun lalu ketika nenek saya meninggal, saya merasakan rasa yang sama. Merasakan rasa kehilangan, yang saya pikir ada obatnya (selain waktu), tapi ternyata tidak. Setelah upacara ngaben semua orang berbenah dan mengulang aktivitas yang sama seperti sebelum nenek saya meninggal. Ayah ibu saya tetap berangkat bekerja, dan sialnya saya harus tetap berangkat sekolah. Dunia masih sama. Guru piket masih menunggui murid yang melanggar aturan berpakaian, teman-teman saya masih bolos ke kantin, guru-guru tetap memberi PR. Dunia merasa tidak punya urusan dengan kesedihan saya, sehingga mereka perlu untuk ikut bersedih. Dunia tidak menyediakan waktu untuk menunggui orang-orang yang tengah bersedih untuk mengumpulkan semangatnya dahulu sebelum bergabung dengan dunia yang berjalan seperti biasa. Apakah kita tidak boleh punya waktu untuk bersedih? Apakah sekolah-sekolah atau kampus tidak memberikan libur untuk siswanya yang patah hati? Sekadar untuk menenangkan diri? (haha)

Barangkali ini yang dirasakan Morrie (dalam buku Tuesdays with Morrie karangan Mitch Albom) ketika ia divonis menderita penyakit mematikan. (Meskipun saya tahu yang saya rasakan tak seberapa, sungguh kurang ajar jika saya menyama-nyamai patah hati dan vonis mati). Ketika ia keluar rumah, orang-orang tidak ikut bersedih atas penderitaannya. Padahal ia tidak bisa berjalan, tidak bisa mengajar, bahkan tidak bisa buang air besar sendiri. Tetapi dunia tetap berjalan seperti biasa. Matahari tetap terbit dan terbenam di jam dan arah yang sama. Semakin hari ia semakin menderita. Dan makin hari orang-orang tetap saja bisa berbahagia. 

Tentu saja dunia berhak untuk tetap tertawa-tawa saat kita tengah bersedih. Dunia tidak perlu ikut bersedih. Ini mengingatkan saya pada “Un Universe dans Une Tasse de Thé” – Dunia dalam Secangkir Teh. Materi kuliah sastra modern yang disampaikan dosen kami, Monsieur Ali mengenai konsep kebahagiaan. (Tapi menurut saya ini lebih berkaitan erat dengan konsep eksistensialisme). Bahwa kebahagiaan itu sebenarnya berasal dari diri kita sendiri. Begitu juga dengan kesedihan. Kebahagiaan tidak berasal dari secangkir teh hangat yang kamu teguk saat menggigil di tengah musim dingin. Kebahagiaan tidak datang dari luar. Kebahagiaan datang dari diri kita sendiri. Kebahagiaan adalah diri kita sendiri. Seperti Morrie yang kemudian menyadari bahwa ternyata dunianya tidak pernah berubah, tetapi dirinyalah yang berubah. Ia menciptakan kebahagiaannya sendiri dengan menerima secara lapang bahwa sebentar lagi ia akan mati, kemudian memilih untuk berbagi cerita menjelang kematiannya setiap hari Selasa. 

Jangan-jangan tanpa sadar ketika bersedih, kita diam-diam memelihara kesedihan itu sendiri. Kita membiarkannya tinggal berlama-lama dalam diri kita, dan kadang mencari-cari pembenaran untuk menjadi semakin sedih dan larut. Barangkali kita takut, apakah setelah rasa sedih ini selesai (atau diselesaikan dengan paksa) kita sudah siap untuk bahagia? jangan-jangan setelah berhenti bersedih kita justru tak bisa lagi merasakan apa-apa, kehilangan kepekaan untuk merasakan hal-hal yang bahkan sangat sederhana. Karenanyalah kita lebih baik memilih untuk terus bersedih, sampai bosan, sampai terbiasa dengan rasa sedih.

Di saat-saat seperti ini saya kembali menyadari kalau sungguh egois untuk meminta permakluman pada sekitar mengenai hal-hal yang sifatnya pribadi. Saat saya duduk diam, saya memikirkan bahwa di saat yang sama milyaran orang di muka bumi sedang melakukan kesibukan masing-masing. Seingkali saya membayangkan, ketika duduk sendiri, ada orang yang jauh di sana entah dimana, juga merasakan hal yang sama seperti saya. Di jam yang sama ketika saya menulis, ada orang-orang yang tidur lelap, ada yang membayangkan besok pagi harus makan apa, ada artis-artis Hollywood yang tengah berbelanja baju-baju mahal, ada anak-anak yang kepalaran, ada pengantin baru yang sedang bercinta, ada yang tengah diperkosa, ada yang sedang berbaring di rumah sakit sambil membayangkan kematiannya. Banyak sekali. Kesedihan saya hanya sebagian kecil dari kesedihan orang-orang di belahan dunia lain. Atau hanya pelengkap dari kesedihan-kesedihan yang sudah pernah ada.

Ya. Dunia tidak perlu ikut bersedih dan tidak boleh ikut bersedih. Tapi kita tetap punya waktu untuk bersedih, bukan untuk terus larut di dalamnya, melainkan menghabiskan rasa sedih itu hingga ke akar-akarnya, kemudian bersiap untuk bahagia lagi.




CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment