Di Bawah Tempat Tidur Edelina

Edelina lupa menghitung banyak cerita yang ia simpan di bawah tempat tidurnya. Cerita yang ditulisnya setiap malam, barangkali di surga ia akan sering tak bisa tidur. Edelina kehilangan air mata pada suatu malam di hari Minggu. Terakhir ia hapus dua titik bening air mata di pipi kiri. Sementara di mata kanannya hanya basah hingga kelopak, seperti bulir air di gelas yang kedinginan. Maka setiap ia menangis di balik selimut tak lebih dari separuh malam, ia pindahkan kesedihannya di bawah tempat tidur.

Menjelang pagi, air matanya berubah jadi aroma tanah musim hujan. Wewangian yang basah yang menembus kaca jendelanya. Beberapa hari terakhir ia simpan air matanya di bawah tempat tidur, barangkali di surga ia takan bisa menangis.

Edelina mulai lupa cara menangis sejak Ibunya bercerita tentang rumah boneka di salah satu sisi surga. Ia akan bertemu dengan anjing kecilnya yang dulu selalu mengotori bunga – bunga Ibu dengan lumpur di kakinya. Sejak malam itu, Edelina selalu menulis surat untuk Tuhan dan memindahkan surga ke bawah tempat tidurnya. Di surga ada kelinci putih dengan penunjuk waktu di lehernya. Maka ia harus berkawan dengan kelinci itu lebih dulu, sebab Edelina selalu lupa jalan pulang setelah matahari terbenam. Itu surat pertamanya untuk Tuhan yang menunggu di bawah tempat tidurnya.

Edelina meminta bantuan pada Ibunya untuk memilih baju sebelum berangkat ke surga. Namun Ibu selalu menjawab di surga ia boleh mengambil baju semaunya. Entah yang merah seperti tirai di ruang tamu, biru langit atau coklat muda senada boneka beruangnya. Tapi di suatu malam, Edelina meletakkan semua bajunya di bawah tempat tidur. Kemudian boneka, kotak musik dan semua mimpinya.

Edelina kira ia sudah menunggu terlalu lama. Berulang ia bersurat pada Tuhan, agar tak tersesat menjemputnya di muka rumah. Tapi Tuhan tak pernah berkabar. Di malam sebelum ia tiba di surga, akhirnya ia meminta pada ayah untuk mengganti tempat tidurnya. Ternyata ruang di bawah tempat tidurnya terlalu kecil untuk kedua orang tuanya.


CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment