Nenek Mora dan Remah - remah Roti (1)

Sebelumnya, aku tidak pernah terlambat membuka jendela kamar. Lima belas menit sebelum pukul 8 pagi aku bangkit dari tempat tidur, membalikkan badan dan membuka dua sisi jendela yang berada di ujung tempat tidurku. Aku tidak menyambut cahaya matahari pagi, sebab jendela kamarku tidak menghadap ke timur, bukan juga karena ingin melihat arus lalu lintas kota yang selalu membuatku rindu pada perjalanan pagi ke sekolah.

Tak pernah terlambat, setiap pukul 8 pagi, Nenek Mora membuka pintu rumahnya, berjalan ringkih dengan semangkuk kecil remah roti. Kemudian tepat di tengah – tengah halaman rumahnya ia akan menabur remah – remah roti itu. Tak perlu menunggu hingga 10 menit, burung – burung kecil yang meramaikan dahan pepohonan akan segera berebut remah – remah roti, sisa sarapan Nenek Mora pagi itu. Aku suka memperhatikan Nenek Mora dengan gaunnya yang selalu bermotif bunga – bunga, gaun yang begitu cantik pada masanya. Rambutnya hampir merata putih, meski masih ada beberapa helai berwarna hitam yang tersembunyi. Setelah menabur remah – remah roti di mangkuknya, ia akan menengok ke atas, ke arahku dan menyapaku sambil melambaikan tangan. Ia tak bicara apapun sebab tak akan terdengar olehku, tapi senyumnya selalu menyiratkan kehangatan. Kemudian kubalas dengan senyuman dan lambaian tangan. Setelah itu ia akan berjalan pelan ke arah pagar rumahnya yang terbuat dari kayu, tidak lebih tinggi dari tubuhnya, begitu elastis, mudah di dorong ke depan ataupun ke belakang. Kemudian ia membuka kotak surat berwarna oranye yang kini hampir habis dimakan karat, tapi lagi – lagi tak ada surat dari anaknya. Ia pun kembali ke dalam rumah, bersamaan dengan itu, remah – remah roti yang ia taburkan tadi sudah habis dilahap burung – burung kecil. Aku menikmati suasana ini setiap pagi, tanpa pernah merasa bosan.

Rumah Nenek Mora seperti rumah dalam buku dongengku. Rumahnya sederhana, jika dilihat dari jendela kamarku, bentukanya persegi panjang, dengan pintu kayu yang di bagian atasnya membentuk setengah lingkaran. Warna dindingnya seperti warna setengah gelas susu cokelat yang dicampur dengan satu gelas susu vanilla, mungkin dulu warnanya cokelat, tapi kini memudar, memutih, memutih. Siapa pun yang melihat, pasti tahu bahwa warna dinding yang sebenarnya bukan putih. Di sebelah kiri dan kanan pintu ada jendela kayu cukup lebar yang tak pernah dibuka. Aku sering membayangkan betapa gelapnya rumah itu. Gelap dan sepi. Sebab Nenek Mora hanya tinggal seorang diri. Apa yang ia lakukan di dalam rumah setelah menabur remah – remah roti dan mengecek kotak surat? Aku tidak tahu. Mungkin ia menonton TV sambil menikmati cemilan seperti yang biasa dilakukan kakakku di siang hari. Atau membaca koran hari ini dengan kacamata longgar dengan seteguk kopi seperti ayah. Mungkin juga ia mencoba beberapa resep masakan baru di dapur kesayangannya. Beberapa kali aku membayangkannya duduk di kursi goyang sambil merajut baju baru untuk cucunya (aku bahkan tidak tahu apakah ia punya cucu), sambil mendengarkan alunan musik klasik dari piringan hitam yang ia rawat dengan rapi.

Setelah pagi tadi, ia akan keluar rumah lagi pukul 4 sore untuk menyiram bunga – bunga kesayangannya. Kadang ia memetik beberapa tangkai, mungkin untuk dipajang di dalam kamar. Pernah suatu ketika ia menitipkan seikat mawar putih untukku. Indah sekali. Saat itu aku tidak membuka jendela sejak pagi. Di sore hari, jendela kamarku terbuka, tapi bukan aku yang muncul, tapi Ibuku, ia sedang membersihkan kamarku. Nenek Mora tahu bahwa aku sedang menjalani perawatan, ia tahu bahwa sakitku kambuh lagi. Maka ia menitipkan seikat bunga disertai sebuah pesan yang ia tulis dengan tangan gemetar dan sangat pelan.

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment